28 Mei 2013

UAS MUKHTALIFUL HADIS



NAMA                                   : TITIS NUR ENNISA
NIM                                       : 14113440052
MATA KULIAH                 : MUKHTALIFUL HADIS
DOSEN PENGAMPU         : FAQIH HASYIM

1.      Apa yang disebut dengan ilmu mukhtaliful hadis?
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtaliful Hadits wa Musyakilihi sebagai:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadits-hadits yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau mengkompromikannya, di samping membahas hadits yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa dengan menggunakan Ilmu Mukhtaliful Hadits, maka hadits-hadits yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan itu sendiri. Begitu juga dengan kemusykilan yang terlihat dalam suatu hadits dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadits tersebut.
Sasaran ilmu ini mengarah pada hadits- hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (Taqyid) kemutlakannya dan seterusnya.  Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih. Yang menjadi objek ilmu ini adalah hadits-hadits yang saling berlawanan itu, untuk dikompromikan kandungannya baik dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya maupun dengan mengkhususkan (takhsis) keumumannya dan lain sebagainya, atau hadits-hadits yang musykil, untuk dita’wilkan, hingga hilang kemusykilannya, walaupun hadits-hadits musykil ini tidak saling berlawanan. Imam Syafi`i (w. 204 H) adalah ulama yang mempelopori munculnya disiplin Ilmu Mukhtaliful Hadits.
2.      Adakah syarat-syarat dalam membandingkan hadis-hadis yang bertentangan itu?
Berikut beberapa faktor yang dapat dilihat untuk membandingkan hadis-hadis yang bertentangan:
1)      Faktor Internal Hadist (Al ‘Amil Al Dakhily), meliputi internal redaksi tersebut apakah ada ‘illat (cacat) yang dapat mengganti kedudukannya menjadi Dha’if.
2)      Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy), meliputi waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan hadistnya.
3)      Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy), meliputi cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadist tersebut.
4)      Faktor Ideologi, meliputi ideology suatu madzhab sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan pemahaman.

Apa yang wajib dilakukan oleh orang yang menemukan dua hadits yang saling bertentangan sama – sama maqbul. Dia hendaknya mengikuti langkah – langkah dibawa ini:
1)      Apabila memungkinkan dikumpulkan antara keduanya maka supaya dikumpulkannya dan wajib keduanya mengamalkannya.
2)      Apabila tidak mungkin dikumpulkan melalui beberapa arah yaitu :
a)      Jika diketahui salah satunya nasikh, maka kita dahulukan hadits yang menasakhkan itu dan kita amalkanya, lalu kita tinggalkan yang dinasakh.
b)      Jika tidak dapat diketauhi yang demikian itu; Maka kita tarjihkan salah satunya dengan yang lainnya dengan melihat dari beberapa segi menurut kaidah – kaidah tarjik yang mencapai limah puluh arah atau lebih, kemudian kita amalkan yang rajih tersebut.
c)      Dan jika tidak dapat ditarjihkan salah satunya maka kita tawaqufkan ( tidak kita amalkan hingga nampak jelas kepada kita yang rajih.

3.      Sebutkan beberapa solusi yang diberikan oleh para ahli hadis dalam menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan itu? Dan apakah solusi-solusi itu merupakan kesepakatan final yang diambil para ahli hadis sejak masa terbentuknya ilmu tersebut? Jelaskan menurut pendapat anda?
Menurut Imam al-Syafi’iy, ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian dengan cara nasakh dan penyelesaian dengan cara tarjîh. Di mana ketiga cara tersebut dilakukan dengan berurutan. Artinya jika cara pertama tidak menemukan jalan keluar, maka ditempuh cara kedua, jika cara kedua belum juga diperoleh solusi, maka ditempuh cara ketiga. Berikut penjelasan lebih lanjut:
1)      Metode al-Jam’u (penggabungan atau pengkompromian),  ialah menghilangkan pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masingnya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Metode al-jam’u ini tidak berlaku bagi hadits–hadits dlaif ( lemah ) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih.
Dapat diselesaikan dengan empat cara, yaitu:
a)           Menggunakan Pendekatan Kaedah Ushûl, yaitu memahami Hadîts Rasulullah dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah ushul yang terkait yang telah dirumuskan oleh ulama (ushûliyûn). 
b)          Pemahaman Kontekstual, ialah memahami Hadîts- Hadîts Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang menjadi latarbelakang disampaikannya Hadîts, dengan memperhatikan asbâb al-wurud Hadîts-Hadîts tersebut.
c)           Pemahaman Korelatif, ialah memperhatikan keterkaitan makna antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya yang dipandang mukhtalif yang membahas permasalahan yang sama sehingga pertentangan yang nampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan. 
d)          Menggunakan Cara Ta’wîl, berarti memalingkan lafadz dari makna lahiriyahnya kepada makna lain yang dikandung oleh lafadz karena adanya qarinah yang menghendakinya.

2)      Metode Nasikh Mansukh, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai penjelasnya (bayan) dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan ketentuan khusus (takhsish) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadits nasikh (yang menghapus).
3)      Metode Tarjih, Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana diantara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Solusi diatas telah dipakai oleh para ulama selanjutnya maupun sebelumnya. Ini dikarenakan cara al-Jam’u sudah jauh hari sebelumnya dipakai oleh Ibn Hazm dan ulama lainnya, demikian halnya tentang nasikh wa al-mansukh, tarjih. Ketidakkonsistenan al-Qardawi dengan menggabungkan atau mengkompromikan antara hadis da’If dengan yang sahIh, bahkan dengan al-Qur`an sebenarnya lebih didasari pada tuntutan emosional, di mana buku Kayfa Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah lebih diarahkan pada buku karya Muhammad al-Ghozali yang tidak mentolerir hadis Nabi yang bertentangan dengan al-Qur’an ataupun hadis da’If yang bertentangan dengan hadis sahih dalam kitab al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis|; bukan berdasar keinginan untuk membuat paradigma baru dalam memahami hadis Nabi, khususnya hadis yang mukhtalif.
4.      Buatlah kesimpulan secara garis besar dari yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh perinits dalam imu ini seperti yang tercantum dalam kitab-kitab mereka?
Banyak para ulama’ yang menyusun karya dalam bidang ini. Karya paling awal dalam bidang ini adalah Ikhtilaf al – Hadits karya Imam Muhammad ibn Idris asy – Syafi’iy ( 150 – 204 H ), dan merupakan kitab terkelasik yang sampai pada kita. Beliau tidak bermaksud menyubkan semua hadits yang tampak bertentangan, tetapi hanya menyebut agar dijadikan sebagai sampel oleh ulama’ lain.
Setelah karya asy – Syafi’iy, karya yang terpopuler antara lain kitab Ta’wil Mukhtalif al – Hadits karya Imam al – Hafidz Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah ad –Dainuriy ( 213 – 276 ). Beliau menyusun untuk menyangah musuh – musuh hadits yang melancarkan beberapa tuduhan kepada ahli hadits dengan sejumlah periwayatan beberapa hadits yang tampak saling bertentangan. Beliau menjelaskan hadits – hadits yang mereka klaim saling kontradiktif dan memberikan tantangan terhadap kerancuan – kerancuan seputar hadits – hadits itu. Kitab beliau ini menempati posisi yang amat tinggi dalam khazanah intelektual Islam, bahkan mampu membendung kerancuan yang ditebarkan sementara kelompok Mu’tazilah, Musyabbihah dan yang lain.
Saya akan kutipkan sedikit uraian dalam kitab itu.:” Beliau berkata : Mereka – para pelaku bid’ah – mengatakan , ada dua hadits yang bertentangan dengan air yang terkena najis. Mereka berkata , kalian meriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa beliau bersabda dalam sebuah hadits : Air tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu pun
Kemudian kalian juga meriwayatkan dari beliau, bahwa beliau bersabda :
Bila air telah mencapai dua kulla, maka tidak akan membawa najis.
Yang terakhir ini menunjukkan, bahwa bila air itu kurang dari dua kulla, maka akan membawa najis, ini jelas berbeda dengan hadits yang pertama.
Ibnu Qutaibah berkata, kami akan mengatakan bahwa hadits yang pertama. Rasul SAW. Menyebabkan hadits yang pertama berdasarkan kebiasaan dan yang paling banyak terlihat. Karena biasanya air yang ada disumur – sumur ataupun di kolam – kolam jumlahnya banyak. Sehingga peryataan beliau itu memiliki pengertian spesifik. Ini sama dengan orang yang mengatakan : “ Banjir tak dapat dibendung oleh sesuatu pun “. Padahal ada banjir yang terbendung oleh tembok. Yang dimaksud adalah banjir bandang, bukan banjir kecil. Sema juga dengan orang yang mengatakan : “ Api tak dapat dimatikan oleh sesuatu pun.” Yang dimaksudkannya bukanlah api lentera yang akan mati tertiup agin, bukan pula percikan api, tetapi yang dimaksudkannya adalah api yang membara. Kemudian beliau menjelaskan kepada ukuran air itu dua kolla, suatu ukuran yang tidak bisa dinasjiskan, yakni air yang terbilang banyak.
Dalam bidang ini, yang terpopuler diantaranya karya – karya yang sampai kepada kita adalah kitab Muskil Al - Atsar karya Imam al – Muhaddtis al – Faqih Abu jafar Ahmad ibn Muhammad ath – Thahawiy ( 239 – 321 ), yang terdiri dari empat jilid, dan dicetak di india pada tahun 1333 H. Juga kitab Musykil al – Hadits Wa Bayanuhu karya Imam al – Muhaddits Abu bakar Muhammad ibn al – Hasan ( Ibn Furak ) al – Ashbahaniy yang wafat pada tahun 406 H. Beliau menyusun berkenaan dengan hadits – hadits secara literatur diduga kontrodiktif, mengandung tasybih dan tajsim, yang dijadikan sebagai landasan melancarkan cercaan terhadap agama. Lalu beliau menjelaskan maksudnya dan membatalkan banyak klaim yang salah seputar hadits – hadits itu dengan beragumen pada dalil – dalil naqli dan aqli. Kitab ini telah dicetak di india pada tahun 1362 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar