20 Apr 2016

makalah TAFSIR, TA'WIL DAN TARJAMAH



Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu: Didi Junaedi, MA



Oleh:
TITIS NUR ENNISA
14113440052

FAKULTAS ADDIN/TAFSIR HADITS/SEMESTER IV
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CIREBON

2013
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada Allah STW, yang karena bimbingannyalah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah karya tulis yang berjudul "Tafsir, Ta`wil dan Tarjamah"
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka waktu tertentu sehingga menghasilkan karya yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Saya mengucapkan terimakasih kepada pihak terkait yang telah membantu saya dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua

                                                                                     Cirebon, Mei 2013

                                                                                     Penulis







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Oleh beberapa komunitas dalam peradaban, terutama umat Islam, Al ur’an di anggap sebagai kitab suci yang lengkap dan sempurna. Al Qur’an adalah sebuah teks (dengan T besar) yang mengatasi dan melampaui teks-teks yang lain dalam sejarah. Hal itu disebabkan Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat jibril kepada umat manusia. Ruh ke Ilahian Al-Qur’an lah yang membuatnya tahan dari berbagai kritik dan gempuran.
Sebagai sebuah teks, Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi umat Islam. Semua hal yang ada pada aspekk kehidupan telah diatur didalamnya. Walaupun begitu, disamping berbahasa arab tidak dipungkiri dari ayat-ayatnya masih banyak yang besifat global. Sehingga tidak bisa dipahami secara tekstual, untuk itu bagi orang awam untuk memahaminya perlu penerjemahan dan penafsiran terlebih dahulu. Dalam makalah ini penulis akan memaparkan beberapa hal yang erat kaitannya untuk memahami Al-Qur’an. Yaitu penulis akan memaparkan mengenai Tafsir, Ta’wil dan Terjemah.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah yang dimaksud dengan tafsir, takwil dan terjemah ?
2.      Apa perbedaan antara tafsir, takwil, dan terjemah ?
3.      Apa saja syarat dan adab yang harus dimiliki seorang mufassir ?
C.     TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui definisi tafsir, takwil dan terjemah.
2.      Mengetahui perbedaan antara tafsir, takwil, dan terjemah.
3.      Mengetahui syarat dan adab yang harus dimiliki seorang mufassir.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Tafsir, Takwil Dan Terjemah

1.      Tafsir
Kata tafsir diambil dari kata yang berarti keterangan atau penjelasan. Allah swt berfirman:
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ  
Artinya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
Kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Tafsir secara bahasa mengikuti wazan ”taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau menerangkan makna yang abstrak. Dalam lisanul ’Arab dinyatakan: kata ”al-fasr” berarti menyingkapi sesuatu yang tertutup, sedang kata ”at-tarsir” berarti menyingkapi maksud sesuatu lafaz yang musykil, pelik. Sebagian ulama’ ada yang mengatakan, bahwa kata tafsir adalah kata kerja terbalik dari kata safara yang juga dapat berarti menyingkapkan.
Klasifikasi tafsir ada dua macam yaitu:
1.      Tafsir bi Al-Ma’syur

Adalah penafsiran Al-quran yang mendasarkan pada penjelasan Alquran sendiri, penjelasan rosul, sahabat melalui ijtihadnya, dan perkataan tabiin.
2.      Tafsir bi Ar-Ra’yi

Adalah penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad setelah terlebih dahulu si mufassir bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosa kata Arab beserta muatan-muatan artinya.
Menurut Al-kilby dalam At Tas-hiel Tafsir ialah mensyarahkan al Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya dengan tujuanya. Menurut az Zarkassy tafsir adalah menerangkan makna-makna al Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Jadi kesimpulannya tafsir ialah semacam ilmu yang membahas cara mengucapkan lafal Al-Qur’an dan kandungannya, hukumnya yang mengandung keterangan tentang hal – ihwal susunannya. Dengan definisi yang ringkas tafsir ialah ilmu yang membahas tenteng hal-ihwal Al-Qur’anul karim, dari segi indikasinya apa yang dimaksud oleh Allah.
Para ulama telah bersepakat bahwa mempelajari tafsir itu hukumnya fardhu kifayah dan ini termasuk salah satu dari sekian banyak ilmu agama. Al-Ishbahani berkata, karya yang paling mulia yang dipersembahkan oleh manusia adlah tafsir Al-Qur’an. Keistimewaan suatu karya itu dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu aspek materinya, aspek tujuannya, dan tingkat kebutuhan terhadapnya. Karya tafsir sudah mencakup ketiga aspek ini.
Berikut ini adalah beberapa metode tafsir, yaitu:
a.       Al-Tafsir al-Tahlily
Al-Tafsir al-Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf. Para tafsir Tahlily ini ada yang terlalu bertele-tele dengan uraian panjang lebar dan sebaliknya ada pula yang terlalu sederhana dan ringkas.
b.      At-Tafsir al-Ijmali
Al Tafsir al Ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al Qur’an dengan mengemukakan makna global. Di dalam sistematika uraianya, penafsir akaan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang di masud oleh ayat tersebut. Makna yang di ungkapkan biasanya diletakan di dalam rangkaian ayat-ayat ataumenurut pola-pola yang di akui oleh jumhur ulama dan mudah di pahami oleh semua orang.
c.       At-Tafsir al-Muqaran (metode perbandingan)
Tafsir al Muqaran adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al Qur’an yang di tulis oleh sejumlah para penafsir. Disini seorang penafsir menghimpun ayat- ayat al Qur’an, kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir mengenai ayat tersebut mengenai kitab tafsir mereka, apakah mereka generasi penafsir dari golongan salaf atau khalaf, dan apakah tafsir mereka itu tafsir bil Ma’tsur ataupun tafsir mereka adalah tafsir bil Ra’yi.
Dari segi keluasaan penjelasannya, tafsir Al-Qur’an dapat dibagi dua, yaitu:
1) Metode Tafsir Ijmali,  yaitu: tarsir Al-Qur’an yang dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hanya dijelaskna secara global saja, tidak secara mendalam atau panjang lebar dan mudah dipahami oleh orang awam.
2) Metode Tafsir Itrabi, yaitu kitab tafsir Al-Qur’an yang dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan secara detail dan terperinci serta uaraian-uraian yang panjang lebar sehingga menjadi jelas dan terang.
2.      Ta`wil
Secara etimologi, menurut sebagian ulama’, kata ta’wil memiliki makna yang sama dengan tafsir, yakni ”menerangkan” dan ”menjelaskan”. Ta’wil berasal dari kata ”aul ”. Kata tersebut dapat berarti: pertama, al-ruju’ (kembali, mengembalikan) yakni, mengembalikan makna pada proporsi yang sesungguhnya. Kedua, al-shaf (memalingkan) yakni memalingkan suatu lafal yang mempunyai sifat khusus dari makna lahir kepada makna batin lafal itu sendiri karena ada ketepatan atau kecocokan dan keserasian dengan maksud yang dituju. Ketiga, al-siyasah (mensiasati) yakni, bahwa lafal-lafal atau kalimat-kalimat tertentu yang mempunyai sifat khusus memerlukan ”siasat” yang tepat untuk menemukan makna yang dimaksud. Untuk itu diperlukan ilmu yang luas dan mendalam.
Seperti firman Allah swt:
uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? ÇÐÈ  
Artinya:  “...untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya,” (QS. Ali Imran:7)
Ta’wil menurut terminologi adalah memalingkan lafal dari maknanya yang tersurat kepada makna lain (batin) yang dimiliki lafal itu, jika makna lain tersebut dipandang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Adapun mengenai arti takwil menurut istilah banyak para ulama lain memberikan pendapatnya antara lain sebagai berikut ini :
1)      Menurut Al-Jurzzani
Memalingkan suatu lafazh dari makna d’zamirnya terhadap makna yang dikandungnya apabila makna alternative yang dipandang sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
2)      Menurut defenisi lain
Takwil adalah mengenbalikan sesuatu kepada ghayahnya (tujuannya) yakni menerangkan apa yang dimaksud.
3)      Menurut Ulama Salaf
a. Menafsirkan dan mejelaskan makna suatu ungkapan baik yang bersesuaian dengan makna ataupun bertentangan.
b. Hakekat yang sebenarnya yang dikehendaki suatu ungkapan.
4)      Menurut Khalaf
Mengalihkan suatu lafazh dari maknanya yang rajin kepada makna yang marjun karena ada indikasi untuk itu.
Jadi Pengertian takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu.
3.      Terjemah
Arti terjemah menurut bahasa adalah salinan dari suatu bahasa kebahasa lain atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa kebahasa lain.10 Menurut muhammad husayn al-Dzahabi, salah seorang pakar dan ahli ilmu al-Qur’an dari Universitas Azhar, Kairo, Mesir, kata tarjamah lazim digunakan untuk dua macam pengertian.
a)      Mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lainnya tanpa menerangkan makna dari bahasa asal yang diterjemahkan.
b)      Menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan bahasa yang lain.
Secara terminologi kata ”terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1)      Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama
2)      Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
a.       Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa tarjamahnya;
b.      Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut;
c.       Hendaknya dalam tarjamahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama;
d.      Hendaknya bentuk (sighat) tarjamahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa tarjamah tersebut.
B.     Perbedaan dan persamaan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
1)      Perbedaan dan persamaan tafsir dan terjemah
Tarjamah, baik harfiah maupun tafsiriyah bukanlah atau tidaklah sama dengan tafsir. Atau dengan kata lain, tarjamah tidaklah identik dengan tafsir.[1] Oleh karena perlu diketahui inti-inti perbedaan yang prinsip antara kedua istilah tersebut dalam penjabarannya. Perbedaan-perbedaan dimaksud antara lain:
a)      Bahasa tafsir dalam prakteknya selalu terdapat keterkaitan dengan bahasa aslinya. Selain itu, dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagaimana lazimnya dalam terjemah. Pada terjemah yang terjadi atau dilakukan adalah peralihan bahasa, yakni dari bahasa pertama atau yang asli ke bahasa kedua atau terjemah.
b)      Dalam tafsir yang diutamakan adalah menyampaikan penjelasan dan pesan dari bahasa aslinya yang pertama. Sedangkan pada terjemah tidak terdapat istithrad, yakni memperluas uraian melebihi kadar mencari padanan kata. Dalam terjemah terutama harfiah, makna yang diungkap tidak lebih dari sekedar mengganti bahasa.
c)      Dalam bahasa tafsir yang menjadi pokok perhatian adalah tercapainya penjelasan tepat sasaran baik secara global maupun secara terinci. Tidak demikian halnya dengan terjemah. Ia pada lazimnya mengandung tuntutan terpenuhinya semua makna yang dikehendaki oleh bahasa pertama.
Dengan memperhatikan pernyataan-pernyataan di atas, maka dapat dikatakan bahwa antara tafsir dengan terjemah (baik tafsiriyah maupun harfiyah) tersdapat perbedaan yang cukup jelas. Khusus dalam hubungannya dengan upaya pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an, keterangan melalui terjemahnya tentu tidak akan dapat memberikan kejelasan yang memadai.
Antara tafsir dan terjemah (tafsiriyah) terdapat unsur persamaan. Persamaannya adalah, bahwa baik tafsir maupun terjemah tafsiriyah bertujuan untuk menjelaskan. Tafsir menjelaskan sesuatu maksud yang semula sulit dipahami, sedangkan terjemah adalah menjelaskan makna dari bahasa yang tidak dipahami melalui bahasa lain yang dapat dipahami.
2)      Perbedaan dan persamaan tafsir dengan ta’wil
Yang dimaksud dengan perbedaan di sini bukanlah perbedaan dalam dalam srti paradoksal, melainkan perbedaan dilihat dari segi spesifiknya masing-masing dan perbedaan dari sego sifat-sifat keduanya. Namun demikian para ’ulama berbeda pendapat dalam hal memahami perbedaan yang dilihat dari segi sifat-sifat dan spesifikasi tersebut.[2]
Menurut Abu ’Ubaidah, tafsir dan ta’wil memiliki pengertian yang sama. Tetapi pendapat Abu ’Ubaidah itu ditolak oleh sebagian ’ulama, diantaranya Ibnu habib al-Nisaburiy. Ia mengatakan bahwa para ahli tafsir pada zaman kita, dan bahkan untuk masa selanjutnya telah dan akan berkembang. Jika mereka ditanya mengenai perbedaan tafsir dengan ta’wil maka mereka tidak memberikan penjelasan dengan pasti.[3]
Untuk lebih jelasnya, secara singkat mengenai perbedaan tafsir dan ta’wil tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tafsir
·         Pemakaiannya banyak terdapat pada lafal-lafal dan leksikologi (mufradat).
·         Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
·         Banyak berhubungan dengan riwayat.
·         Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas, terang).
·         Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki.
Ta’wil
·         Penggunaannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimanat.
·         Kebanyakan diistimbatkan oleh para ’ulama.
·         Lebih banyak berhubungan dengan dirayah (nalar, aqliy).
·         Digunakan dalam ayat-ayat mustasyibihat (samar, samar tidak jelas).
·         Menerangkan hakikat yang dikehendaki.
Dengan memperhatikan perbedaan tafsir dan ta’wil sebagaimana dikemukakan oleh para diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, bila ta’wil dikatakan sebagai menafsirkan perkataan dan menjelaskan makna yang tersirat di balik lafal yang tersurat, maka ta’wil dan tafsir asdalah dua kata yang berdekatan atau hampir sama, bila tidak dikatakan sama. Termasuk ke dalam pengertian ini adalah do’a Rasulullah s.a.w untuk ibnu abbas yang berbunyi:
Ya Allah berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama secara mendalam dan ajarkanlah ta’wil kepadanya.
Atas dasar itulah tampaknya, ’ulama terdahulu termasuk di dalamnya Ibn Jarir al-Thabariy (310 H) memandang sama antara pengertian tafsir dengan ta’wil. Sebaliknya, bila ta’wil dikatakan sebagai menggali esensi dari suatu perkataan yang berada dalam realitas (bukan dalam pikiran), sedang tafsir dikatakan sebagai ”syarah” dan penjelasan bagi suatu perkataan, penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya serta berada dalam lisan (perkataan) dengan ungkapan yang menunjukannya, atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup signifikan.
C.     Syarat Dan Adab Yang Harus Dimiliki Seorang Mufassir
1.      ADAB-ADAB MUFASSIR
Beberapa adab yang baik juga telah ditetapkan ke atas para Mufassir membolehkan mereka mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, antaranya:
1)      Niat dan tujuan yang baik, kerana setiap amal perbuatan bergantung kepada niat. Orang-orang yang melibatkan diri dalam pentafsiran Al-Qur’an perlu memiliki adab ini dan perlu menjauhkan diri daripada tujuan-tujuan duniawi yang akan mengheret mangsanya ke arah kehinaan.
2)      Berakhlak mulia kerana mufassir adalah bagaikan seorang pendidik yang didikannya tidak akan mempengaruhi jiwa seseorang selama ia tidak menjadi role model kepada masyarakat meneruskan budi pekerti yang mulia.
Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis tingkahlaku yang berlawanan dan terpancar daripada dua sistem nilai yang berbeza. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung kepada kualiti individu dan masyarakat. lndividu dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh nilai-nilai dan akhlak yang baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan tingkahlaku yang buruk, akan porak peranda dan kacau bilau. Masyarakat kacau bilau, tidak mungkin dapat membantu tamadun yang murni dan luhur.
3)      Taat dan beramal kerana sesuatu ilmu akan mudah diterima oleh orang-orang yang mempraktikannya berbanding dengan orang-orang yang hanya memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi tetapi tidak beramal dengannya. Tingkah laku yang mulia hasil daripada ilmu pengetahuan dan amalannya akan menjadikan seseorang mufassir sebagai sumber inspirasi yang baik kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah agama sebagaimana yang disarankan olehnya.
4)      Berjiwa mulia, kerana seseorang yang mempunyai pengetahuan yang tinggi perlu menjauhkan diri daripada perkara-perkara remeh dan tidak pula mengharapkan pangkat dan penghormatan manusia.
5)      Bersikap tawadu` dan lemah lembut kerana kesombongan ilmiah adalah dinding yang menghalangi seseorang yang berilmu daripada memanfaatkan ilmunya kepada dirinya sendiri dan juga orang lain.
6)      Tegas dalam menyampaikan kebenaran kerana jihad yang paling utama ialah menyampaikan kebenaran di hadapan pemerintah yang zalim.
7)      Mendahulukan orang-orang yang lebih utama daripada dirinya sendiri. Seseorang mufassir seharusnya tidak gugup untuk mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an di hadapan mufassir yang lebih pandai pada masa mereka masih hidup. Juga tidak wajar merendahkan mufassir lain setelah mereka meninggal dunia.
8)      Menggaris dan mengemukakan langkah-langkah penafsiran secara ilmiah dan sistematik, seperti memulakannya dengan menyebut asbab al-nuzul, erti perkataan, menerangkan susunan perkataan, memberi penerangan kepada aspek-aspek balaghah dan i`rab yang mana penentuan makna bergantung kepadanya, menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kehidupan sebenarnya yang dialami oleh umat manusia pada masa itu serta membuat kesimpulan dan menentukan hukum.
2.      SYARAT-SYARAT MUFASSIR
Proses penafsiran Al-Qur’an tidak mungkin dapat dilakukan oleh sembarangan orang, tidak semua orang secara bebas menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an menurut kehendak pemahamannya sendiri, tidak akan diterima penafsiran seseorang kecuali dengan memenuhii syarat sebagai seorang mufassir, dalam hal ini para ulama tafsir sepakat memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir. Manna’ Al-Qattan dalam bukunya Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an menyebutkan ada syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir.
1)      Akidah yang benar.
2)      Bersih daripada hawa nafsu kerana ia akan mendorong dirinya membela dan menegakkan kepentingan dan keperluan mazhabnya semata-mata sehingga ia berupaya menipu manusia lain dengan ucapan-ucapan lembut dan keterangan-keterangan yang menarik minat seseorang seperti yang dilakukan oleh golongan yang menyeleweng daripada ajaran Islam.
3)      Mendahulukan tafsir Al-Qur’an dengan al-Qur’an itu sendiri, di mana perkara yang diterangkan secara ringkas di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain.
4)      Mentafsirkan Al-Qur’an dengan al-Sunnah karena al-Sunnah adalah penjelasan daripada al-Qur’an. Sunnah Nabawiyah berfungsi untuk mensyarah Al-Quran, menjelaskan yang mujmal (umum), memuqayyadkan yang mutlak, mengkhususkan yang umum, menerangkan yang mubham (tidak dierti), mentafsirkan yang musykil (rumit), mendetilkan yang ringkas, menyingkap bahagian yang samar, dan memperlihatkan maksudnya.
5)      Jika tidak terdapat tafsiran Al-Qur’an dari Al-Sunnah, maka hendaklah dirujuk kepada pandangan para sahabat karena mereka lebih memahami perkara tersebut disebabkan mereka telah menyaksikan penurunan wahyu dan latar belakangnya.
6)      Mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pentafsiran, ayat-ayat Al-Qur’an berkaitan erat dengan i`rab perkataan dan tatabahasa. Oleh itu ilmu pengetahuan yang sedikit tidak dapat membantu seseorang mentafsir Al-Qur’an dengan baik. Mujahid bin Jabr berkata:”Tidak wajar bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat memperkatakan mengenai kitab Allah sedangkan dia tidak mengetahui dialek-dialek bahasa Arab.
7)      Mempunyai pengetahuan pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an:
a.       Ilmu Qiraat
b.      Mendalami ilmu Usuluddin dan ilmu tauhid
c.       Berpengetahuan dalam Usul Fiqh
d.      Berpengetahuan yang luas dalam bidang pokok-pokok ilmu tafsir seperti asbab al-Nuzul, An-Nasikh dan Al-Mansukh serta ilmu-ilmu yang lainnya.
8)      Memiliki ketelitian dan kecermatan dalam pemahaman.
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
ü  Tafsir adalah suatu hasil tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai nilai samawi yang terdapat dalam al-Quran. Tafsir terbagi dua, yaitu :
1. Tafsir bi Al-Ma’syur
2. Tafsir bi Ar-Ra’yi
ü  Takwil menurut istilah adalah mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan apa yang dimaksudnya.
ü  Terjemah adalah memindahkan Al-Quran kepada bahasa lain yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah ini ke dalam beberapa naskah agar bisa di baca kepada orang yang tidak bisa bahasa arab sehingga ia dapat memahami kitab Allah SWT. Dengan perantara terjemahan ini.
ü  Macam-macam terjemah :
1. Terjemah maknawiyyah tafsiriyyah,

2. Terjemah harfiyah bi Al-mitsli,

3. Terjemah bi dzuni Al-mistli.
ü  Perbedaan tafsir dan takwil di satu pihak dan terjemah di pihak lain adalah bahwa yang pertama berupaya menjelaskan makna-makna setiap kata di dalam Al-Qur’an, sedangkan yang kedua hanya mengalihkan bahasa Al-Qur’an yang nota bene bahasa arab ke dalam bahasa non arab.
ü  Syarat dan adab mufassir :
1.      Pengetahuan dalam bahasa arab dalam berbagai bidang.
2.      Pengetahan tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, sejarah turunnya, hadist-hadist Nabi, dan ushul fiqh.
3.      Pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok tentang keagamaan.
4.      Pengetahuan tentang disiplin ilmu yang mejadi materi bahasan ayat.



DAFTAR PUSTAKA

Amir, Djafar. 1972. Ushul Fiqih, Semarang: CV. Toha Putra.

Anwar, Abu. 2009. Ulumul Quran Sebuah Pengantar, Pekanbaru: Amzah

Anwar, Rosihon. 2008. Ulumul Al-Qur’an, Bandung: CV. Pustaka Setia.


[1] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 333
[2] Ibid., h. 327-328
[3] Mashuri Sirajuddin Iqbal, A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Angkasa, 1987), h.92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar