Makalah
Disusun
untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ulumul Qur’an
Dosen
Pengampu: Didi Junaedi, MA
Oleh:
TITIS NUR ENNISA
14113440052
FAKULTAS ADDIN/TAFSIR
HADITS/SEMESTER IV
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CIREBON
2013
2013
KATA PENGANTAR
Syukur
alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada
Allah STW, yang karena bimbingannyalah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah
karya tulis yang berjudul "Tafsir, Ta`wil dan Tarjamah"
Makalah ini
dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka waktu tertentu sehingga
menghasilkan karya yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Saya mengucapkan
terimakasih kepada pihak terkait yang telah membantu saya dalam menghadapi
berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari
bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih,
dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua
Cirebon,
Mei 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Oleh beberapa
komunitas dalam peradaban, terutama umat Islam, Al ur’an di anggap sebagai
kitab suci yang lengkap dan sempurna. Al Qur’an adalah sebuah teks (dengan T
besar) yang mengatasi dan melampaui teks-teks yang lain dalam sejarah. Hal itu
disebabkan Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah melalui
malaikat jibril kepada umat manusia. Ruh ke Ilahian Al-Qur’an lah yang
membuatnya tahan dari berbagai kritik dan gempuran.
Sebagai sebuah
teks, Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi umat Islam. Semua hal yang ada
pada aspekk kehidupan telah diatur didalamnya. Walaupun begitu, disamping
berbahasa arab tidak dipungkiri dari ayat-ayatnya masih banyak yang besifat
global. Sehingga tidak bisa dipahami secara tekstual, untuk itu bagi orang awam
untuk memahaminya perlu penerjemahan dan penafsiran terlebih dahulu. Dalam
makalah ini penulis akan memaparkan beberapa hal yang erat kaitannya untuk
memahami Al-Qur’an. Yaitu penulis akan memaparkan mengenai Tafsir, Ta’wil dan
Terjemah.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah
yang dimaksud dengan tafsir, takwil dan terjemah ?
2. Apa
perbedaan antara tafsir, takwil, dan terjemah ?
3. Apa
saja syarat dan adab yang harus dimiliki seorang mufassir ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui definisi tafsir, takwil
dan terjemah.
2. Mengetahui perbedaan antara tafsir,
takwil, dan terjemah.
3. Mengetahui
syarat dan adab yang harus dimiliki seorang mufassir.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Tafsir,
Takwil Dan Terjemah
1. Tafsir
Kata
tafsir diambil dari kata yang berarti keterangan atau penjelasan. Allah swt
berfirman:
wur
y7tRqè?ù't
@@sVyJÎ/
wÎ)
y7»oY÷¥Å_
Èd,ysø9$$Î/
z`|¡ômr&ur
#·Å¡øÿs?
ÇÌÌÈ
Artinya:
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya.
Kata
tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran
yang berarti keterangan atau uraian. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir
menurut pengertian bahasa adalah al-kasyf
wa al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Tafsir secara
bahasa mengikuti wazan ”taf’il”, berasal
dari akar kata al-fasr (f, s, r) yang
berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau menerangkan makna yang
abstrak. Dalam lisanul ’Arab dinyatakan: kata ”al-fasr” berarti menyingkapi sesuatu yang tertutup, sedang kata ”at-tarsir” berarti menyingkapi maksud
sesuatu lafaz yang musykil, pelik. Sebagian ulama’ ada yang mengatakan, bahwa
kata tafsir adalah kata kerja terbalik dari kata safara yang juga dapat berarti
menyingkapkan.
Klasifikasi
tafsir ada dua macam yaitu:
1.
Tafsir bi Al-Ma’syur
Adalah penafsiran Al-quran yang mendasarkan pada penjelasan Alquran sendiri, penjelasan rosul, sahabat melalui ijtihadnya, dan perkataan tabiin.
Adalah penafsiran Al-quran yang mendasarkan pada penjelasan Alquran sendiri, penjelasan rosul, sahabat melalui ijtihadnya, dan perkataan tabiin.
2.
Tafsir bi Ar-Ra’yi
Adalah penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad setelah terlebih dahulu si mufassir bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosa kata Arab beserta muatan-muatan artinya.
Adalah penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad setelah terlebih dahulu si mufassir bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosa kata Arab beserta muatan-muatan artinya.
Menurut
Al-kilby dalam At Tas-hiel Tafsir ialah mensyarahkan al Qur’an, menerangkan
maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan
isyaratnya dengan tujuanya. Menurut az Zarkassy tafsir adalah menerangkan
makna-makna al Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Jadi kesimpulannya tafsir ialah semacam ilmu yang membahas cara mengucapkan lafal Al-Qur’an dan kandungannya, hukumnya yang mengandung keterangan tentang hal – ihwal susunannya. Dengan definisi yang ringkas tafsir ialah ilmu yang membahas tenteng hal-ihwal Al-Qur’anul karim, dari segi indikasinya apa yang dimaksud oleh Allah.
Jadi kesimpulannya tafsir ialah semacam ilmu yang membahas cara mengucapkan lafal Al-Qur’an dan kandungannya, hukumnya yang mengandung keterangan tentang hal – ihwal susunannya. Dengan definisi yang ringkas tafsir ialah ilmu yang membahas tenteng hal-ihwal Al-Qur’anul karim, dari segi indikasinya apa yang dimaksud oleh Allah.
Para
ulama telah bersepakat bahwa mempelajari tafsir itu hukumnya fardhu kifayah dan
ini termasuk salah satu dari sekian banyak ilmu agama. Al-Ishbahani berkata,
karya yang paling mulia yang dipersembahkan oleh manusia adlah tafsir
Al-Qur’an. Keistimewaan suatu karya itu dapat ditinjau dari beberapa aspek,
yaitu aspek materinya, aspek tujuannya, dan tingkat kebutuhan terhadapnya.
Karya tafsir sudah mencakup ketiga aspek ini.
Berikut
ini adalah beberapa metode tafsir, yaitu:
a. Al-Tafsir
al-Tahlily
Al-Tafsir
al-Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan
ayat-ayat al Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya penafsir
mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf. Para
tafsir Tahlily ini ada yang terlalu bertele-tele dengan uraian panjang lebar
dan sebaliknya ada pula yang terlalu sederhana dan ringkas.
b. At-Tafsir
al-Ijmali
Al
Tafsir al Ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al
Qur’an dengan mengemukakan makna global. Di dalam sistematika uraianya,
penafsir akaan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam
mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang di masud oleh ayat tersebut.
Makna yang di ungkapkan biasanya diletakan di dalam rangkaian ayat-ayat
ataumenurut pola-pola yang di akui oleh jumhur ulama dan mudah di pahami oleh
semua orang.
c. At-Tafsir
al-Muqaran (metode perbandingan)
Tafsir
al Muqaran adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al Qur’an yang di tulis
oleh sejumlah para penafsir. Disini seorang penafsir menghimpun ayat- ayat al
Qur’an, kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir mengenai
ayat tersebut mengenai kitab tafsir mereka, apakah mereka generasi penafsir
dari golongan salaf atau khalaf, dan apakah tafsir mereka itu tafsir bil Ma’tsur
ataupun tafsir mereka adalah tafsir bil Ra’yi.
Dari
segi keluasaan penjelasannya, tafsir Al-Qur’an dapat dibagi dua, yaitu:
1)
Metode Tafsir Ijmali, yaitu: tarsir
Al-Qur’an yang dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hanya dijelaskna secara
global saja, tidak secara mendalam atau panjang lebar dan mudah dipahami oleh
orang awam.
2)
Metode Tafsir Itrabi, yaitu kitab tafsir Al-Qur’an yang dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan secara detail dan terperinci serta uaraian-uraian
yang panjang lebar sehingga menjadi jelas dan terang.
2. Ta`wil
Secara
etimologi, menurut sebagian ulama’, kata ta’wil
memiliki makna yang sama dengan tafsir, yakni ”menerangkan” dan ”menjelaskan”.
Ta’wil berasal dari kata ”aul ”. Kata
tersebut dapat berarti: pertama, al-ruju’
(kembali, mengembalikan) yakni, mengembalikan makna pada proporsi yang
sesungguhnya. Kedua, al-shaf
(memalingkan) yakni memalingkan suatu lafal yang mempunyai sifat khusus dari
makna lahir kepada makna batin lafal itu sendiri karena ada ketepatan atau kecocokan
dan keserasian dengan maksud yang dituju. Ketiga, al-siyasah (mensiasati) yakni, bahwa lafal-lafal atau
kalimat-kalimat tertentu yang mempunyai sifat khusus memerlukan ”siasat” yang
tepat untuk menemukan makna yang dimaksud. Untuk itu diperlukan ilmu yang luas
dan mendalam.
Seperti
firman Allah swt:
uä!$tóÏGö/$#
ÏpuZ÷GÏÿø9$#
uä!$tóÏGö/$#ur
¾Ï&Î#Írù's?
ÇÐÈ
Artinya: “...untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta'wilnya,” (QS. Ali Imran:7)
Ta’wil
menurut terminologi adalah memalingkan lafal dari maknanya yang tersurat kepada
makna lain (batin) yang dimiliki lafal itu, jika makna lain tersebut dipandang
sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Adapun
mengenai arti takwil menurut istilah banyak para ulama lain memberikan
pendapatnya antara lain sebagai berikut ini :
1) Menurut
Al-Jurzzani
Memalingkan suatu
lafazh dari makna d’zamirnya terhadap makna yang dikandungnya apabila makna
alternative yang dipandang sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
2)
Menurut defenisi lain
Takwil adalah mengenbalikan
sesuatu kepada ghayahnya (tujuannya) yakni menerangkan apa yang dimaksud.
3)
Menurut Ulama Salaf
a. Menafsirkan dan
mejelaskan makna suatu ungkapan baik yang bersesuaian dengan makna ataupun
bertentangan.
b. Hakekat yang
sebenarnya yang dikehendaki suatu ungkapan.
4) Menurut
Khalaf
Mengalihkan suatu
lafazh dari maknanya yang rajin kepada makna yang marjun karena ada indikasi
untuk itu.
Jadi
Pengertian takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami
lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang
dikandung oleh lafazh itu.
3. Terjemah
Arti
terjemah menurut bahasa adalah salinan dari suatu bahasa kebahasa lain atau
mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa kebahasa lain.10
Menurut muhammad husayn al-Dzahabi, salah seorang pakar dan ahli ilmu al-Qur’an
dari Universitas Azhar, Kairo, Mesir, kata tarjamah lazim digunakan untuk dua
macam pengertian.
a)
Mengalihkan atau memindahkan suatu
pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lainnya tanpa menerangkan makna dari
bahasa asal yang diterjemahkan.
b)
Menafsirkan suatu pembicaraan dengan
menerangkan maksud yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan bahasa yang
lain.
Secara terminologi kata
”terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1)
Terjemah
harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke
dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan
dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama
2)
Terjemah
tafsiriyah atau terjemah
maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa
terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan
kalimatnya.
Secara umum, syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah
adalah:
a.
Penerjemah
memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun
bahasa tarjamahnya;
b.
Penerjemah
memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua
bahasa tersebut;
c.
Hendaknya dalam
tarjamahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa
pertama;
d.
Hendaknya bentuk
(sighat) tarjamahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada
lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa tarjamah tersebut.
B. Perbedaan
dan persamaan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
1)
Perbedaan dan persamaan tafsir dan
terjemah
Tarjamah,
baik harfiah maupun tafsiriyah bukanlah atau tidaklah sama dengan tafsir. Atau
dengan kata lain, tarjamah tidaklah identik dengan tafsir.[1]
Oleh karena perlu diketahui inti-inti perbedaan yang prinsip antara kedua
istilah tersebut dalam penjabarannya. Perbedaan-perbedaan dimaksud antara lain:
a)
Bahasa tafsir dalam prakteknya selalu
terdapat keterkaitan dengan bahasa aslinya. Selain itu, dalam tafsir tidak
terjadi peralihan bahasa, sebagaimana lazimnya dalam terjemah. Pada terjemah
yang terjadi atau dilakukan adalah peralihan bahasa, yakni dari bahasa pertama
atau yang asli ke bahasa kedua atau terjemah.
b)
Dalam tafsir yang diutamakan adalah
menyampaikan penjelasan dan pesan dari bahasa aslinya yang pertama. Sedangkan
pada terjemah tidak terdapat istithrad, yakni memperluas uraian melebihi kadar
mencari padanan kata. Dalam terjemah terutama harfiah, makna yang diungkap
tidak lebih dari sekedar mengganti bahasa.
c)
Dalam bahasa tafsir yang menjadi pokok
perhatian adalah tercapainya penjelasan tepat sasaran baik secara global maupun
secara terinci. Tidak demikian halnya dengan terjemah. Ia pada lazimnya
mengandung tuntutan terpenuhinya semua makna yang dikehendaki oleh bahasa
pertama.
Dengan
memperhatikan pernyataan-pernyataan di atas, maka dapat dikatakan bahwa antara
tafsir dengan terjemah (baik tafsiriyah maupun harfiyah) tersdapat perbedaan
yang cukup jelas. Khusus dalam hubungannya dengan upaya pemahaman terhadap
kandungan al-Qur’an, keterangan melalui terjemahnya tentu tidak akan dapat
memberikan kejelasan yang memadai.
Antara
tafsir dan terjemah (tafsiriyah) terdapat unsur persamaan. Persamaannya adalah,
bahwa baik tafsir maupun terjemah tafsiriyah bertujuan untuk menjelaskan.
Tafsir menjelaskan sesuatu maksud yang semula sulit dipahami, sedangkan
terjemah adalah menjelaskan makna dari bahasa yang tidak dipahami melalui
bahasa lain yang dapat dipahami.
2) Perbedaan
dan persamaan tafsir dengan ta’wil
Yang
dimaksud dengan perbedaan di sini bukanlah perbedaan dalam dalam srti
paradoksal, melainkan perbedaan dilihat dari segi spesifiknya masing-masing dan
perbedaan dari sego sifat-sifat keduanya. Namun demikian para ’ulama berbeda
pendapat dalam hal memahami perbedaan yang dilihat dari segi sifat-sifat dan
spesifikasi tersebut.[2]
Menurut
Abu ’Ubaidah, tafsir dan ta’wil memiliki pengertian yang sama. Tetapi pendapat
Abu ’Ubaidah itu ditolak oleh sebagian ’ulama, diantaranya Ibnu habib
al-Nisaburiy. Ia mengatakan bahwa para ahli tafsir pada zaman kita, dan bahkan
untuk masa selanjutnya telah dan akan berkembang. Jika mereka ditanya mengenai
perbedaan tafsir dengan ta’wil maka mereka tidak memberikan penjelasan dengan
pasti.[3]
Untuk
lebih jelasnya, secara singkat mengenai perbedaan tafsir dan ta’wil tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tafsir
·
Pemakaiannya banyak terdapat pada
lafal-lafal dan leksikologi (mufradat).
·
Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan
hadits-hadits shahih.
·
Banyak berhubungan dengan riwayat.
·
Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat
(jelas, terang).
·
Bersifat menerangkan petunjuk yang
dikehendaki.
Ta’wil
·
Penggunaannya lebih banyak pada makna-makna
dan susunan kalimanat.
·
Kebanyakan diistimbatkan oleh para
’ulama.
·
Lebih banyak berhubungan dengan dirayah
(nalar, aqliy).
·
Digunakan dalam ayat-ayat mustasyibihat
(samar, samar tidak jelas).
·
Menerangkan hakikat yang dikehendaki.
Dengan
memperhatikan perbedaan tafsir dan ta’wil sebagaimana dikemukakan oleh para
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, bila ta’wil dikatakan sebagai menafsirkan
perkataan dan menjelaskan makna yang tersirat di balik lafal yang tersurat,
maka ta’wil dan tafsir asdalah dua kata yang berdekatan atau hampir sama, bila
tidak dikatakan sama. Termasuk ke dalam pengertian ini adalah do’a Rasulullah
s.a.w untuk ibnu abbas yang berbunyi:
Ya
Allah berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama secara mendalam dan ajarkanlah
ta’wil kepadanya.
Atas
dasar itulah tampaknya, ’ulama terdahulu termasuk di dalamnya Ibn Jarir
al-Thabariy (310 H) memandang sama antara pengertian tafsir dengan ta’wil. Sebaliknya,
bila ta’wil dikatakan sebagai menggali esensi dari suatu perkataan yang berada
dalam realitas (bukan dalam pikiran), sedang tafsir dikatakan sebagai ”syarah”
dan penjelasan bagi suatu perkataan, penjelasan ini berada dalam pikiran dengan
cara memahaminya serta berada dalam lisan (perkataan) dengan ungkapan yang
menunjukannya, atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup
signifikan.
C. Syarat
Dan Adab Yang Harus Dimiliki Seorang Mufassir
1. ADAB-ADAB
MUFASSIR
Beberapa
adab yang baik juga telah ditetapkan ke atas para Mufassir membolehkan mereka
mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, antaranya:
1)
Niat dan tujuan yang baik, kerana setiap
amal perbuatan bergantung kepada niat. Orang-orang yang melibatkan diri dalam
pentafsiran Al-Qur’an perlu memiliki adab ini dan perlu menjauhkan diri
daripada tujuan-tujuan duniawi yang akan mengheret mangsanya ke arah kehinaan.
2)
Berakhlak mulia kerana mufassir adalah
bagaikan seorang pendidik yang didikannya tidak akan mempengaruhi jiwa
seseorang selama ia tidak menjadi role model kepada masyarakat meneruskan budi
pekerti yang mulia.
Akhlak
yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis tingkahlaku yang
berlawanan dan terpancar daripada dua sistem nilai yang berbeza. Kedua-duanya
memberi kesan secara langsung kepada kualiti individu dan masyarakat. lndividu
dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh nilai-nilai dan akhlak yang
baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah
sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan
tingkahlaku yang buruk, akan porak peranda dan kacau bilau. Masyarakat kacau
bilau, tidak mungkin dapat membantu tamadun yang murni dan luhur.
3)
Taat dan beramal kerana sesuatu ilmu
akan mudah diterima oleh orang-orang yang mempraktikannya berbanding dengan
orang-orang yang hanya memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi tetapi tidak
beramal dengannya. Tingkah laku yang mulia hasil daripada ilmu pengetahuan dan
amalannya akan menjadikan seseorang mufassir sebagai sumber inspirasi yang baik
kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah agama sebagaimana yang
disarankan olehnya.
4)
Berjiwa mulia, kerana seseorang yang
mempunyai pengetahuan yang tinggi perlu menjauhkan diri daripada
perkara-perkara remeh dan tidak pula mengharapkan pangkat dan penghormatan
manusia.
5)
Bersikap tawadu` dan lemah lembut kerana
kesombongan ilmiah adalah dinding yang menghalangi seseorang yang berilmu
daripada memanfaatkan ilmunya kepada dirinya sendiri dan juga orang lain.
6)
Tegas dalam menyampaikan kebenaran kerana
jihad yang paling utama ialah menyampaikan kebenaran di hadapan pemerintah yang
zalim.
7)
Mendahulukan orang-orang yang lebih
utama daripada dirinya sendiri. Seseorang mufassir seharusnya tidak gugup untuk
mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an di hadapan mufassir yang lebih pandai pada
masa mereka masih hidup. Juga tidak wajar merendahkan mufassir lain setelah
mereka meninggal dunia.
8)
Menggaris dan mengemukakan
langkah-langkah penafsiran secara ilmiah dan sistematik, seperti memulakannya
dengan menyebut asbab al-nuzul, erti perkataan, menerangkan susunan perkataan,
memberi penerangan kepada aspek-aspek balaghah dan i`rab yang mana penentuan
makna bergantung kepadanya, menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan
kehidupan sebenarnya yang dialami oleh umat manusia pada masa itu serta membuat
kesimpulan dan menentukan hukum.
2.
SYARAT-SYARAT MUFASSIR
Proses
penafsiran Al-Qur’an tidak mungkin dapat dilakukan oleh sembarangan orang,
tidak semua orang secara bebas menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an menurut kehendak
pemahamannya sendiri, tidak akan diterima penafsiran seseorang kecuali dengan
memenuhii syarat sebagai seorang mufassir, dalam hal ini para ulama tafsir
sepakat memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir.
Manna’ Al-Qattan dalam bukunya Mabahits
Fi Ulum Al-Qur’an menyebutkan ada syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir.
1) Akidah
yang benar.
2) Bersih
daripada hawa nafsu kerana ia akan mendorong dirinya membela dan menegakkan
kepentingan dan keperluan mazhabnya semata-mata sehingga ia berupaya menipu
manusia lain dengan ucapan-ucapan lembut dan keterangan-keterangan yang menarik
minat seseorang seperti yang dilakukan oleh golongan yang menyeleweng daripada
ajaran Islam.
3) Mendahulukan
tafsir Al-Qur’an dengan al-Qur’an itu sendiri, di mana perkara yang diterangkan
secara ringkas di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain.
4) Mentafsirkan
Al-Qur’an dengan al-Sunnah karena al-Sunnah adalah penjelasan daripada
al-Qur’an. Sunnah Nabawiyah berfungsi untuk mensyarah Al-Quran, menjelaskan
yang mujmal (umum), memuqayyadkan yang mutlak, mengkhususkan yang umum,
menerangkan yang mubham (tidak dierti), mentafsirkan yang musykil (rumit),
mendetilkan yang ringkas, menyingkap bahagian yang samar, dan memperlihatkan
maksudnya.
5) Jika
tidak terdapat tafsiran Al-Qur’an dari Al-Sunnah, maka hendaklah dirujuk kepada
pandangan para sahabat karena mereka lebih memahami perkara tersebut disebabkan
mereka telah menyaksikan penurunan wahyu dan latar belakangnya.
6) Mempunyai
pengetahuan yang luas dalam bidang bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan pentafsiran, ayat-ayat Al-Qur’an berkaitan erat dengan i`rab perkataan
dan tatabahasa. Oleh itu ilmu pengetahuan yang sedikit tidak dapat membantu
seseorang mentafsir Al-Qur’an dengan baik. Mujahid bin Jabr berkata:”Tidak
wajar bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat memperkatakan
mengenai kitab Allah sedangkan dia tidak mengetahui dialek-dialek bahasa Arab.
7) Mempunyai
pengetahuan pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an:
a. Ilmu
Qiraat
b. Mendalami
ilmu Usuluddin dan ilmu tauhid
c. Berpengetahuan
dalam Usul Fiqh
d. Berpengetahuan
yang luas dalam bidang pokok-pokok ilmu tafsir seperti asbab al-Nuzul, An-Nasikh
dan Al-Mansukh serta ilmu-ilmu yang lainnya.
8) Memiliki
ketelitian dan kecermatan dalam pemahaman.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
ü Tafsir
adalah suatu hasil tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap
nilai nilai samawi yang terdapat dalam al-Quran. Tafsir terbagi dua, yaitu :
1. Tafsir bi Al-Ma’syur
2. Tafsir bi Ar-Ra’yi
ü Takwil
menurut istilah adalah mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni
menerangkan apa yang dimaksudnya.
ü Terjemah
adalah memindahkan Al-Quran kepada bahasa lain yang bukan bahasa arab dan
mencetak terjemah ini ke dalam beberapa naskah agar bisa di baca kepada orang
yang tidak bisa bahasa arab sehingga ia dapat memahami kitab Allah SWT. Dengan
perantara terjemahan ini.
ü Macam-macam
terjemah :
1. Terjemah maknawiyyah tafsiriyyah,
2. Terjemah harfiyah bi Al-mitsli,
3. Terjemah bi dzuni Al-mistli.
1. Terjemah maknawiyyah tafsiriyyah,
2. Terjemah harfiyah bi Al-mitsli,
3. Terjemah bi dzuni Al-mistli.
ü Perbedaan
tafsir dan takwil di satu pihak dan terjemah di pihak lain adalah bahwa yang
pertama berupaya menjelaskan makna-makna setiap kata di dalam Al-Qur’an,
sedangkan yang kedua hanya mengalihkan bahasa Al-Qur’an yang nota bene bahasa
arab ke dalam bahasa non arab.
ü Syarat dan
adab mufassir :
1.
Pengetahuan dalam bahasa arab dalam berbagai bidang.
2.
Pengetahan tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, sejarah
turunnya, hadist-hadist Nabi, dan ushul fiqh.
3.
Pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok tentang keagamaan.
4.
Pengetahuan tentang disiplin ilmu yang mejadi materi
bahasan ayat.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Djafar. 1972. Ushul Fiqih, Semarang: CV. Toha Putra.
Anwar, Abu. 2009. Ulumul Quran Sebuah Pengantar, Pekanbaru: Amzah
Anwar, Rosihon. 2008. Ulumul Al-Qur’an, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar